Ormas

Fatwa Persis Tempo Doeloe

November 18th, 2008

Oleh: Tiar Anwar Bachtiar

Dalam salah satu maklumat yang dikeluarkan oleh Pengurus Besar Persatuan Islam bertanggal 1 April 1937, yang dimuat dalam Majalah Al-Lisaan no. 16, 22 Maret 1937, hal. 38 disebutkan sebagai berikut:

Pada saat itu, maklumat ini disebarluaskan ke berbagai penjuru Nusantara sehingga men-dapat perhatian dari berbagai kalangan umat Islam. Tidak hanya dari kalangan anggota Persatuan Islam, sekalipun isinya mengatur tata cara penyampaian pendapat dari kalangan intern Persatuan Islam.

Sebagai sumber sejarah primer, naskah ini memberikan kesan kepada kita bagaimana zeitgeist (jiwa zaman) dan menta-litas Persatuan Islam pada masanya yang sangat penting untuk dijadikan bahan merenungkan ke-kinian kita. Jiwa zaman dan mentalitas itulah yang pada masanya telah membawa Persis organisasi yang saat itu hanya beranggotakan tidak lebih dari 300 orang—pada masa keemasaannya. Mentalitas itulah yang membawa Persis dikenang dan diperhitungkan banyak orang, baik yang setuju maupun tidak. Bahkan seorang ulama besar dari kelompok tradisionalis, pendiri Nahdhatul Ulama, K.H. Wahab Hasbullah mau menyempatkan diri meluangkan waktu melayani permintaan berdiskusi dan berdebat mengenai masalah “taqlid”. Peristiwa itu direkam secara khusus dalam Al-Lisaan edisi ekstra tahun 1935. Indikasi-indikasi itu menunjukkan bahwa kebera-daan Persis saat itu, sekalipun anggotanya sedikit, merupakan arus utama dalam pemikiran pembaharuan Islam saat itu. Naskah di atas akan mengungkapkan bagaimana mentalitas para aktivisnya sehingga layak dihargai dan dihormati oleh orang lain.

Dari ungkapan-ungkapan dalam siaran resmi PB Pesatuan Islam di atas terlihat beberapa kesan. Pertama, keajegan bersikap. Sekalipun untuk saat ini, saat keterbukaan dan melimpahnya informasi mengenai berbagai aspek agama, kata-kata “berpegang pada dalil Al-Qur`an dan Sunnah” menjadi kata-kata yang seolah-olah sumir dan bersayap, namun untuk saat itu kata-kata itu adalah salah satu bentuk ungkapan yang operasional. Saat ini semakin terbuka bahwa setiap pendapat fiqih, sekalipun tidak secara langsung disebutkan dalilnya, dapat dengan mudah siapapun untuk mengakses dalilnya dalam Al-Qur`an maupun hadits. Yang dibutuhkan sedikit ketekunan untuk duduk di depan perpustakaan, toko buku, atau internet. Sehingga kata-kata “kembali kepada Al-Qur`an dan Sunnah” tidak harus selalu dalam bentuk pemuatan dalil Al-Qur`an dan hadits secara langsung. Namun, berbeda sekarang berbeda dahulu, ketika informasi mengenai aspek-aspek agama hanya dimonopoli kalangan santri dan kyai yang menguasai kitab-kitab klasik dan mampu berbahasa Arab dengan baik. Kadang-kadang aspek-aspek agama yang disampaikan oleh kyai kepada umat jarang menyertakan dalilnya, sekalipun bukan berarti tidak ada, sehingga apa yang disampaikan kyai seolah-olah semuanya adalah “agama”. Bahkan opini kyai yang belum tentu merupakan bagian dari agama juga dianggap sesakral agama. Akibatnya, sangat mudah terjadi pengkultusan pada kyai.

Slogan “kembali kepada Al-Qur`an dan Sunnah” bentuk operasionalnya adalah selalu mengemukakan aspek-aspek agama bersama dengan dalilnya secara langsung, baik berupa ayat Al-Qur`an maupun hadits. Cara ini cukup efektif untuk membongkar pengkultusan terhadap “qaul” kyai dan membedakan mana opini dan mana agama. Persis merupakan salah satu lokomotif yang sangat berani membongkar kebuntuan situasi itu. Bahkan dengan sangat berani, melalui penguasaan media-media Islam, Persis melontarkan ide-ide baru yang bertentangan dengan pakem yang sudah biasa berlaku di tengah masyarakat dengan cara-cara yang sangat meyakinkan, yaitu menjelentrehkan (menjabarkan) dalil-dalil pokok dalam Al-Qur`an dan hadits.

Sejalan dengan itu, muncul sikap kedua, yaitu membongkar secara mendasar kemungkinan pengkultusan pendapat dengan membuka pintu dialog seluas-luasnya. Dalam poin pertama maklumat Persis di atas bahkan dengan sangat jelas, Persis tidak menginginkan fatwa yang dilontarkannya diberi cap “Persis” yang dikhawatirkan dapat menghambat kemerdekaan bagi siapa saja untuk memeriksa kembali dalil-dalil yang disampaikan oleh Bagian Pustaka PB Persis yang mengkaji dan menerbitkan fatwa-fatwa tersebut.

Sikap kesatria dan berani berdialog dengan siapa saja seperti yang ditunjukkan dalam poin 2, 3, 4, 5, dan 6 menunjukkan keterbukaannya pada kemungkinan-kemungkinan berubahnya pendapat Persis asal didukung dengan dalil dan argumentasi yang kuat. Sikap itu tidak hanya dalam siaran pers semacam itu. Berbagai peristiwa debat, dialog, dan polemik dengan berbagai pihak menunjukkan keseriusan Persis untuk menguji pendapat-pendapatnya agar dapat benar-benar bisa dipertanggung-jawabkan sebagai rujukan umat.

Persis juga tidak pernah menyembunyikan kelemahan fatwa-fatwanya dengan dalih otoritas, yaitu bahwa yang boleh mengkaji, memutuskan, dan mengkritik fatwa hanya orang-orang berilmu yang ditandai keanggotaannya dalam Bagian Pustaka Persis atau dengan label keulamaan lain. Persis dengan sangat terbuka mempersilahkan kepada siapa saja pembaca fatwa itu, muballigh Persis ataupun yang lainnya, untuk mengkritik fatwa itu. Yang terpenting bagi Persis adalah isi dari kritik itu atau argumentasinya. Dalam bahasa lain Persis menerapkan prinsip unzhur mâ qâla walâ tanzhur man qâla (lihat apa yang dikatakannya, bukan siapa yang menga-takannya). Prinsip ini sama seperti sikap Umar ibn Khaththab yang mau mendengar apa saja yang benar dari rakyatnya yang mana saja, sekalipun ia rakyat jelata dan seorang penggembala sekalipun.

Persis bahkan menginginkan agar muballigh-muballigh Persis selalu mau mengkaji kembali setiap fatwa yang dikeluarkan oleh Bagian Pustaka PB Persis untuk menghindari kekeliruan. Ini menunjukkan sikap egaliter petinggi Persis dan tidak mengklaim mereka yang duduk di Pusat sebagai orang yang paling tahu segalanya, sementara yang berada di daerah-daerah dan yang tidak duduk secara resmi di lembaga keulamaan sebagai orang yang tidak mengerti dan tidak tahu. Jelas dalam sejarah awalnya ini tidak ada doktrin “imâmah-imârah” yang sering digunakan sebagai alibi untuk menghakimi siapa saja yang mencoba menggugat dan berbeda sikap dengan fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh pimpinan di Pusat (saat itu Pengurus Besar atau PB). Ketaatan terhadap organisasi diplot pada hal-hal yang memang ada urusannya dengan teknis administratif berorganisasi seperti yang tercermin pada poin 5 dan 7. PB Persis mengatur bagaimana cara anggota-anggota Persis menyampaikan kritik, tapi tidak melarang sama sekali mengkritik, apalagi mengklaim bahwa fatwa yang benar hanya yang keluar dari Pengurus Besar. Tentu ini logis sebagai cara untuk mengatur tertib berorganisasi. Organisasi apapun, bila ingin rapi memang harus taat asas pada aturan yang berlaku. Akan tetapi ini tidak ada kaitannya dengan keshahihan dalil agama.

Keterbukaan seperti ini akan membuka ruang publik yang luas bagi seluruh muba-lligh dan anggota Persis untuk menyampaikan pendapat-pendapatnya. Cara ini juga memungkinkan secara cepat muncul kader-kader intelektual Persis baru sehingga tidak terjadi kemandegan pengkaderan. Bahkan dengan cara ini, bukan hanya yang resmi masuk Persis yang ingin bergabung dengan Persis. Intelektual-intelektual brilian seperti Hasbi Ash-Shiddiqy dan Moenawar Chalil yang sebelumnya telah menjadi aktivis Muhammadiyah tertarik untuk masuk menjadi anggota diskusi Persatuan Islam. Seorang M. Natsir, aktivis Jong Islamitien Bond pun tertarik masuk Persis karena keterbukaan dan sikap rasionalnya itu. Jadilah kemudian Persis sebagai lokomotif pemikiran pembaharuan Islam pada paruh pertama abad ke-20 di Indonesia

Tinggalkan komentar